Cerita Dewasa Antara Kejutan Dan Polwan



Cerita Dewasa: Antara Kejutan Dan Polwan








Cerita Dewasa: Antara Kejutan Dan Polwan | Cerita Dewasa - Herman belum pulang dari liburannya di Singapura, sehingga terpaksa aku dan Tono yang menjaga usaha pijat plus-plusnya ini. Teman yang lain sedang sibuk dengan kegiatan mereka, hanya aku dan Tono yang menjadi orang kepercayaan Herman. Oya, namaku Satorman, aku sudah sering menceritakan kisahku dan kisah teman-temanku. Kali ini, aku, Tono, dan empat gadis teman kami yang standby di tempat ini, tempat pijit plus-plus yang masih sepi hingga hari ini. Hanya penambahan anggota baru dua hari yang lalu. Namanya Fenny, gadis keturunan yang cantik, melebihi tiga teman gadis kami yang pribumi. Entah dasar apa yang menyebabkannya mau bekerja di sini, yang jelas aku menduga adalah himpitan ekonomi. Tapi lambat laun aku juga bisa mengorek informasi mengenai alasannya.

Fenny, Ayu, Lisa dan Widya menunggu di bawah, siapa tahu ada konsumen yang masuk. Sedangkan aku dan Tono sedang asyik main playstation tiga yang baru saja kubeli dan ku simpan di kamarku. Sejak ikut Herman, aku tidak terlilit hutang lagi, bahkan aku tidak sulit mendapatkan uang, karena Herman selalu memberikan uang kepada kami, walaupun usaha sepi, dia tetap membayar gaji kami. Jam sudah menunjukkan pukul 22:00, tiba-tiba aku mendengar dering telepon, "Iya, ada apa?" tanyaku ketika mengangkat telepon di meja yang tersambung dengan telepon lantai bawah. "Ada masalah, turun bentarlah, ada polisi nih..." kata Ayu yang menelepon dari lantai bawah. Aku pun kaget mendengar ada polisi yang datang, apa ini razia? Aku segera ajak Tono untuk menuju ke bawah. "Gawat nich, semua suratkan ada sama Herman..." kata Tono.

Asli lebih terkejut lagi ketika kami sampai di bawah dengan apa yang kami lihat? Ada tiga polwan muda dan cantik sedang berbicara dengan Ayu dan yang lainnya. "Selamat malam pak!" sapa salah satu polwan ketika melihat kami. Wajahnya cantik sekali, rambutnya pendek dan postor tubuhnya seperti model, kulihat diseragamnya tertera namanya Felicia. Sedangkan dua polwan lainnya sedang berbicara sambil melirik-lirik kondisi tempat usaha kami. Mereka sepertinya baru, karena kulihat umur mereka mungkin baru menginjak 20 atau lewat sedikit. "Iya, selamat malam, ada yang bisa kami bantu?" jawab Tono dengan sopan. "Maaf, ini kunjungan mendadak, kami mau lihat surat-surat pendirian usaha ini" kata polwan tersebut. Tono langsung terlihat pucat, seperti yang kami khawatirkan, usaha gelap ini sangat riskan. "Hmm, bos kita lagi tidak ada di tempat bu, surat menyuratnya ada sama beliau, kalau ibu mau, nanti kalau beliau sudah pulang, kita laporkan lagi?" kata Tono. "Kami mau lihat sekarang juga, masa buka usaha tanpa ijin?" sindir polwan lainnya yang tadinya sedang berbicara dengan Ayu, muka polwan tersebut terlihat judes sekali. "Oh, tunggu..." kata Tono. Lalu Tono mendekatiku dan berbisik padaku, "Mereka kayaknya minta jatah... Ambilin tiga juta lah buat mereka..." Mungkin juga mereka minta uang pelicin, jadi aku naik ke atas kembali ke kamar ku untuk mengambil sejumlah uang.

Samapi kembali di bawah, aku langsung menyodorkannya ke Felicia, polwan yang tadinya berbicara dengab kami. "Loh, apa ini maksudnya?" tanya polwan itu. "Kalian bermaksud menyogok kami?" tanya nya lagi. Kami semua terdiam melihat ketiga polwan itu sedikit marah. "Ayo ikut kami ke kantor polisi!" perintah Felicia. "Tapi?..." jawab Tono. "Berikan waktu agar kami bisa menelpon bos kami dulu..." pinta Tono. "Kau dan kau ikut!" perintah polwan itu sambil menunjuk kami berdua. "Tutup saja yu, nanti Ayu coba telpon bos Herman..." pesan Tono ke Ayu, dan kami pun digiring keluar. Kami disuruh naik ke mobil polisi yang dengan bak terbuka. Sial sekali, kami diperlakukan seperti penjahat, kami disuruh duduk di belakang dan dijaga dua polwan, sedangkan Felicia yang mengendarai mobil.

Untungnya sudah agak malam sehingga jalanan sedikit sepi, dan kami pun melewati jalan yang dikelilingi hutan, karena kantor polisi terletak agak jauh. Aku lihat raut wajah Tono sangat kesal, aku paham, kami malu sekali diperlakukan begini, andai Herman ada di tempat, tentunya dia tak akan membiarkan kami begini.

Sesampai di kantor polisi, kami pun disuruh turun dan menemui atasan mereka. Seorang pria gemuk besar dengan kumis tebal duduk santai di sebuah ruangan, sepertinya dia lah atasan di sini. Saat masuk, pria yang merupakan kapolsek daerah sini hanya tersenyum-senyum mendengar penjelasan polwan-polwan tersebut. Tak lama dari itu aku melihat pria berkumis tebal itu ditelpon seseorang, dan saat dia menutup telponnya, dia pun menyuruh kami pulang. Kini giliran polwan itu yang protes, "Tapi pak?..." sepertinya polwan tersebut tidak terima dengan keputusan polisi pria itu. "Antar mereka pulang, perlakukan mereka dengab baik..." itu saja yang dikatakan polisi pria tersebut tanpa mau berbicara panjang lagi.

Aku dan Tono baru merasa lega, kami pun kembali naik ke mobil itu layaknya penjahat, kami kembali harus dibawa di belakang. Sebelum naik, sepertinya Tono mendapatkan sms dari seseorang, setelah membacanya dia pun menunjukkannya padaku. Itu adalah sms dari Ayu yang berisi: "Gw uda telp bos, nti tmn2 lain ada kejutan". Sms yang sangat singkat, aku pun tidak tahu apa maksudnya.

Mobilpun mulai bergerak ketika kami naik. Masih tiga polwan tersebut yang menemani kami. Entah sial apa, pas sampai di tengah hutan yang harus kami lalui, tiba-tiba ban mobil bocor. "Waduh, mana gelap lagi nih... Tak bawa ban serap..." kata Felicia yang keluar dari mobilnya. Kami pun turun dari bak mobil, "Sial, siapa yang nebar paku begitu banyak?" kata Felicia setelah mengecek ban mobilnya. Sepertinya ada yang menaruh ranjau paku di sepanjang jalan ini. Apa ini kejutan yang dimaksud Ayu? Soalnya siapa yang iseng menebar ranjau paku di sini? Tidak ada bengkel dekat sini, paling-paling perampok saja yang melakukan hal seperti ini di tempat sepi tengah hutan begini. "Tunggu di sini, kita cari tumpangan", kata Felicia memandang ke ujung jalan yang gelap. Hanya terang bulan dan cahaya lampu dari mobil yang menyinari sekitar. Dan dari ujung jalan terlihat ada sinar, ada mobil yang menuju ke sini, Felicia pun maju berdiri di tengah jalan untuk menghadang mobil itu.

"Wah, mogok ya?" tanya seseorang yang menggunakan topeng dalam mobil tersebut ketika dihentikan Felicia. Tak sempat bertindak, tiba-tiba dengan secepat kilat, beberapa orang bertopeng turun dari mobil itu dan menyergap tiga polwan tersebut. Mungkin ada sekitar tujuh pria bertopeng yang langsung melumpuhkan tiga polwan tersebut. Para polwan itu tak bisa melawan karena kalah jumlah. "Ayo ikut!" pria bertopeng itu langsung menyeret tiga polwan tersebut masuk ke dalam hutan. Aku dan Tono tidak bisa berbuat apa-apa, kejadiannya sungguh cepat, kami tak mungkin melawan, karena mereka membawa senjata tajam. Kami semua digiring masuk hutan, apa selanjutnya yang akan terjadi? Aku takut kawanan penjahat ini akan membunuh kami semua.

Sampailah kami di tanah yang sedikit lapang, ku hitung jumlah mereka... satu... dua... tiga... semua ada tujuh orang. Pria misterius bercadar itu sepertinya sangat brutal, mereka mengacungkan senjata mereka di hadapan kami. Aku, Tono, dan tiga polwan itu tak bisa berkutik, kami disuruh berlutut dengan tangan di kepala. Salah satu pria tersebut kemudian mendekati kami, kemudian menarik satu polwan ke depan. Empat pria lain menjaga kami agar tidak berontak, sedangkan tiga lainnya seperti akan melakukan terhadap polwan itu. "Cantik juga ya polwan ini..." ejek pria tadi yang menariknya, kemudian berdiri di depannya dan mengangkat dagu polwan tersebut. "Hmm, Eka..." pria itu membaca nama yang tertera di seragam polwan tersebut.

Dari barisan kami tampak Felicia berusaha melawan, tapi ia ditendang dari belakang oleh pria yang mengawasi kami, hingga ia tersungkur dan kesakitan. Sedangkan di depan kami, hanya bisa melihat aksi pria bercadar mengerjai polwan yang disebut bernama Eka tersebut. Aku lihat dengan jelas, walaupun penerangan hanya menggunakan senter dan mengharapkan sinar rembulan, pria bercadar yang menarik Eka tersebut memeluk Eka dan melumat bibirnya. Sedangkan dua lainnya hanya tertawa terbahak-bahak, dan empat lainnya masih mengawasai kami dari jarak yang sangat dekat. Felicia masih kesakitan akibat tendangan tadi, tapi dia sudah kembali ke posisi awal, berlutut dengan tangan di atas kepala.

Aku juga tidak ada niat untuk menolong para polwan tersebut, karena aku juga sudah terlanjur kesal dengan perlakuan mereka. Bahkan aku berharap para pria tak dikenal itu melakukan aksi yang lebih lanjut. Ternyata yang ku mau menjadi nyata, pria bercadar yang tadi melumat bibir polwan yang bernama Eka itu mendorong tubuh Eka hingga jatuh. "Beraninya menolak ciumanku?!" pria tersebut terlihat marah sekali. Eka lalu ditendang bagian perut hingga termuntah-muntah, kami hanya bisa diam, Felicia sepertinya agak geram melihat adegan ini. Polwan bernama Felicia kemudian kembali bangkit dan menantang mereka, "Kalau berani, ayo satu lawan satu!" ajak Felicia. "Hahaha, yang benar saja? Satu lawan satu?" para pria tersebut tertawa terbahak-bahak. "Apa kalian menangkap kami, para penjahat, juga ada pakai peraturan satu lawan satu? Kalian juga gerombolan, bahkan membawa senjata api..." kata pria bercadar yang tadi menendang Eka. Mereka juga sepertinya memiliki dendam yang besar terhadap polwan ini.

"Akh!...." teriakan Felicia yang ditendang dari belakang hingga terseret ke arah Eka. "Bagusnya dibunuh atau bagaimana?" tanya pria tadi pada kawan-kawannya. "Jangan dulu, sayang sekali kalau tidak dicicipi..." jawab temannya yang lain. "Hmm... Betul juga, kecantikan mereka seharusnya berguna..." Para pria yang menjaga kami mendekat ke arah kami dan menodongkan senjata mereka ke leher kami. Aku, Tono dan satu polwan lagi yang tidak tahu bakal diapakan oleh mereka. Kemudian pria yang menendang Eka mendekati Eka dan Felicia, "Turuti permintaan kami, atau mereka MATI!!!" ancam pria tersebut. Nampak Felicia hanya bisa melotot kesal ke arah pria tersebut. Pria tersebut kemudian membuka resleting celana jeans nya, dan penis besar yang sudah mengeras pun tersembul keluar. "Ayo, kulum!" perintah pria itu. Karena Felicia mengkhawatirkan keselamatan kami, ia pun terpaksa mengulum penis pria itu. Pria itu menjambak rambutnya agar Felicia lebih agresif, karena tadinya Felicia sedikit takut untuk menyentuhkan bibirnya ke penis pria tersebut. Sama halnya dengan Eka, dia juga dipaksa untuk mengulum penis pria bercadar lainnya. Felicia dan Eka tidak bisa melawan, karena nyawa kami kini tergantung dengan mereka.

Melihat dua polwan tersebut memberikan pelayanan begitu kepada dua pria bercadar itu, membuat penisku mengeras. Nafsu ku naik hingga tak tertahan, ingin sekali aku mengocok penisku sambil melihat adegan ini. Sungguh malang nasib mereka, rambut mereka yang hanya sebatas bahu dijambak untuk mengatur irama. Sedangkan polwan satunya yang berlutut di dekat kami terlihat menangis, dia tak sanggup melihat yang sedang terjadi. Hmm, cantik juga, yang satu ini nganggur, andai saja dia men-service ku, hahaha, harapku dalam hati. Ku pandangi seragamnya yang ketat, susunya terlihat agak besar, dan namanya Olivia tertera di seragam, terlihat jelas akibat lekukan dadanya yang membusung ke depan. Ku pandangi teman sebelahku ini, Tono, ia terlihat menikmati adegan tersebut, ia menonton tanpa mengedipkan mata, bahkan sesekali ia seperti menelan ludah.

Dua pria tersebut terus menggenjot mulut dua polwan itu, dua lainnya di dekat menunggu giliran, sedangkan tiga lainnya sedang mengawasi kami. Setengah jam ada penis mereka dikocok dengan mulut polwan itu dan akhirnya mereka menyemburkan sperma juga. "Ayo ditelan!" perintah salah satu pria yang dikulum penisnya itu. Awalnya Felicia mencobq memuntahkannya, namun pria yang dikulum penisnya itu menampar pipi Felicia dengan kuat "Plak!" "Mau lihat temanmu mati?" ancam pria tersebut. Sehingg Eka dan Felicia sangat dengan terpaksa menelan semua sperma yang disemprotkan ke dalam mulut mereka. Setelah itu selesai, dua pria itu pun berpindah, mereka memberikan tempat untuk dua pria lain yang sudah dari tadi menunggu giliran. Dua pria itu berdiri di depan Eka dan Felicia. "Kami belum mau dikulum, tapi mau mengenyot..." kata salah satu pria tersebut. Felicia dan Eka sangat kaget mendengar permintaan pria tersebut.

Mendengar itu, Olivia yang berlutut dekat kami pun bersuara, "Jangan... Tolong lepaskan mereka..." Tapi bukan mendengar permohonan Olivia, salah satu pria yang mengawasi kami pun langsung menjambak rambut Olivia, "Lu mau ikutan mereka?!" kata pria tersebut. Olivia pun menangis dengan kencang. "Jangan... Biar saya saja..." kata Felicia yang dengan perlahan membuka kancing bajunya. "Loh, polwan yang satu ini mau lihat temannya mati?" tanya satu pria melihat

Follow On Twitter